Mom,
you is my first love
Bintang
bersinar terang, bulan mememperlihatkan wujud terindahnya. Pantulan
sinarnya mengenai kolam ikan koiku yang di atasnya ada dua angsa yang
sedang berkejar-kejaran. Di taman belakang inilah aku selalu
menenangkan pikiran setelah bekerja. Mendengar gemericik air, melihat
angsa, dan melihat bintang yang bertebaran di angkasa. Aku sekarang
tidak sendirian di taman. Aku mengajak seorang wanita yang akan
menjadi ibu dari anak-anakku.
“Malam
yang indah ya?” kataku mencoba mencairkan suasana.
“Mmmmm,
iya sih” kata perempuan yang nanti akan menjadi ibu dari
anak-anakku itu.
“Apa
kamu masih cemburu pada wanita nomer satu yang tidak bakal bisa di
gantikan oleh siapapun?”
“Sejujurnya
mas aku sangat cemburu padanya, apa cintaku kurang besar kepadamu
mas? Siapa wanita itu mas?” tanyanya penasaran.
Inilah
yang mebuat aku selalu gagal dalam menjalin hubungan ke dalam jenjang
yang lebih tinggi. Sudah banyak wanita yang aku ingin jadikan mereka
sebagai pedamping setiaku. Aku juga ingin cepat-cepat menyempurnakan
separuh agamaku. Namun mereka selalu meninggalkanku saat aku bilang,
kamu akan menjadi wanita kedua yang istimewa dalam hidupku. Mereka
selalu meninggalkanku sebelum aku bisa menjelaskannya.
“Dia
adalah ibu angkatku dik. Dia adalah wanita yang paling special dalam
hidupku”.
“Boleh
mas ceritakan kenapa ibu angkat mas itu sangat berharga bagi mas?”
Saat
itu gelap, lembab, bau. Kukira aku akan mati sebentar lagi, ternyata
Allah membantuku lewat seorang wanita yang sepertinya sudah umur 45.
Dia adalah sinar dalam gelapku, dia adalah mentariku, dia adalah
waktu bagiku. Dia adalah malaikatku, dia adalah ibu angkatku. Aku
sangat menyayanginya. Saat yang lain mengabaikan tangisanku yang
penuh dengan harapan agar ada orang yang mau merawatku, tenyata hanya
wanita inilah yang mau mengambilku di tempat pembuangan sampah di
dekat kota yang penuh dengan pelajar dan kriminal. Meskipun kami
hidup dalam kekurangan namun aku tau Allah pasti memberikan yang kami
butuhkan, bukan yang kami inginkan. Karena semua telah tertulis dalam
takdir. Aku percaya suatu saat nanti Allah pasti memberiku jalan
untuk menuju kesuksesanku.
Hari
ini aku akan mengantar Ibuku yang sedang sakit ke puskesmas. Sudah
beberapa hari ini ibu batuk-batuk. Aku sangat khawatir dia sakit TBC.
“Sudahlah
nduk gak usah kamu pikirkan ibu, nanti toh ibu juga sembuh sendiri.
Mungkin ibu kecapekan kerja dari pagi sampai sore terus” kata ibuku
sambil menghapus air mataku yang sudah berjatuhan.
“Ibu
janji ya ibu ga boleh jualan kue keliling lagi sampai sore”.
“Iya
nak, ibu janji”.
Aku
bangun karena angin pagi masuk dari sela-sela jendela kamarku. Sejuk
dan dingin, langsung menusuk ke tulang. Aku lihat jam bekerku yang
sudah sangat tua dan tidak bisa lagi dipakai untuk alarm karena sudah
berkarat.
“Astaga, sudah jam
setengah empat, aku keisangan”. Aku mendekatkan mataku lebih dekat
barang kali apa yang aku lihat salah. Setelah aku sadar bahwa yang
aku lihat adalah kenyataan dan nyawaku sudah pulih. Aku segera
melompat dari tempat tidurku dan mengambil air wudlu, segera aku
melakukan sholat tahajud. Memohon kesembuhan ibuku dan meminta
kepadaNya agar aku bisa menjadi orang yang sukses.
Aku
mulai menyiapkan segalanya. Sejak ibuku sakit akulah yang menjadi
juru masak dan panutan bagi adik-adikku. Di dapur seukuran dengan
halte bus ini aku memasak, mencuci. Semuanya penuh sesak karena asap
pembakaran. Kami tak sanggup membeli elpiji apalagi minyak tanah. Aku
memasak menggunakan tungku.
Aku
melihat jam lagi. Ternyata sudah jam lima, aku segera membangunkan
ibu dan adik-adikku. Ayah angkatku sudah lama menghilang, tepat saat
ibuku menemukan aku, ayahku meninggalkannya. Aku kasian dan merasa
bersalah pada ibuku. Namun ibuku selalu berkata bukan akulah
penyebabnya namun karena janda dari kampung halaman ayahku yang
selalu membujuknya untuk meninggalkan ibu. Aku tak sudi lagi
melihatnya meskipun dia bukanlah ayah kandungku. Aku tidak akan
terima kalau dia membuat air mata ibuku jatuh lagi. Sungguh aku tak
akan memaafkannya. Aku akan terus menjadi penjaga hati ibuku.
“Raffly,
Nagus, ayo bangun sudah jam lima. Kalian belum sholat loh” aku
menggoyangkan ranjang tidur mereka. Aku selalu memngingatkan mereka
untuk sholat karena itu adalah perantara kita pada yang menciptakan
kita.
“Iya
mas, bentar lagi ya” mereka merengek padaku.
“Banggguuuuuuuuun”
aku berteriak sekeras-kerasnya di tengah-tengah telinga kedua
adinkku.
Akhirnya
mereka bangun. Tepat jam tujuh aku dan adik pertamaku Raffly
berangkat sekolah. Kami mendapat bantuan dari guru di sekolah kami
untuk bersekolah dan biaya lain-lain. Kata ibuku lebih peting itu
sekolah dari pada kerja. Jami harus berjalan kaki 1 kilo untuk ke
sekolah. Karena kami tak ada uang untuk menaiki angkot. Naik buspun
itu aku lakuakan karena aku harus mengamen.
“Kak
Raflly haus” rengek adikku.
“Bentar
ya dik, kakak mintakan air minum dulu”.
Setelah
melihat bagaimana rendahnya kami di mata masyarat. Akhirnya aku
berjanji dalam hati untuk menjadi orang yang benar-benar sukses. Aku
tidak tega melihat adikku yang masi kelas 1 SD ini terus berjalan
kaki ke sekolah. Aku mulai belajar mati-matian untuk mendapatkan
sebuah sepeda dari perlombaan cerdas cermat yang akan di gelar di
sekolah. Dan Alhamdulillah ternyata aku menjadi juara satu. Aku
bersyukur karena aku bisa mendapat sebuah sepeda untuk kami berdua.
Di
suatu malam aku medengar tangisan adik bungsuku dari kamar ibuku.
“Ibu, kapan sembuh?” adikku yang paling bungsu menangis dalam
pelukan ibuku yang semakin terlihat lemah di kasurnya. Setelah
kemarin aku paksa ibuku untuk ke puskesmas. Aku sangat kaget ternyata
penyakit ibuku sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Kecuali jika di
bawa ke singapura. Aku tidak sanggup bila harus berobat ke singapura,
kami hanya bisa membeli obat penghilang rasa sakit yang uang itu saja
aku dapat dari pinjaman guruku. Karena kau tak sanggup membawanya ke
singapura, aku hanya bisa menangis melihat keadaannya yang sudah
kurus ini. Aku masuk ke dalam kamar dan segera memeluk mereka. Aku
ikut menangis.
“Sudahlah
nduk, jangan di tangisi ini semua sudah di atur sama yang diatas.
Sabar ya nduk” ibuku mencoba untuk memberiku semangat.
“Bagaimana
aku bisa tegar ibu, di depanku ada wanita yang paling aku sayangi
sedang berjuang melawan penyakit yang bahkan dokter tidak tahu kapan
penyakit itu akan mengakhiri hidup ibu” aku menangis sejadi-jadinya
dalam pelukan ibuku.
“Ingat
ya nduk. Sekarang adalah kehidupan, Esok adalah rancangan, Dulu
adalah pelajaran. Kita tidak boleh menangisi apapun yang telah di
takdirkan oleh Allah karena Allah pasti punya rencana yang kita tidak
tahu” ibuku memberi nasihat sambil mengusap air matanya yang aku
tidak tahu kapan air mata itu jatuh. Aku hanya bisa menangis melihat
ini semua. Ingin aku memberontak dan mencuri keberuntungan orang
kaya yang kebanyakan mereka sama sekali tidak mempedulikan rakyat
kecil. Mereka selalu bersenang-senang, menghambur-hamburkan uang
untuk hal yang tidak perlu, membuang makanan. Apa mereka tidak pernah
bersyukur pada apa yang mereka dapat? Aku membenci orang seperti itu.
Apa meraka tidak tahu bahwa masih ada orang yang membutuhkan di bawah
kolong jembatan, di pingiran kali, di depan toko-toko yang sudah
tutup? Apa mereka buta? Aku membenci mereka.
Sudah
genap satu bulan ibuku sakit. Akupun sudah menyelesaikan sekolah
SMAku minggu lalu sekarang dua adikku saja yang bersekolah. Raflly
sudah akan naik ke kelas 2SD dan si Nagus sudah memasuki TK. Dan aku
akan melanjutkan ke jenjang kuliah. Alhamdulillah aku mendapatkan
beasiswa dari sekolah karena nilaiku yang selalu diatas 95. Aku ingin
sekali melanjutkan kulaihku di negeri sakura tapi semua hanya mimpi
dan angan kosong belaka. Akhirnya aku memilih untukmelanjutkan ke UB
karena dekat dengan rumahku yang ada di bantaran kali brantas. Kadang
rumah mungilku goyang saat hujan deras disertai angin. Aku selalu
meminta pada ibuku agar lekas pindah dari sini namun beliau selalu
menolak.
Ini
adalah hari pertamaku memasuki perkuliahan. Aku selalu takut untuk
berkenalan dengan orang baru. Aku terlalu takut untuk menanyakan
‘siapa namamu?’.
“Ibu,
aku berangkat dulu ya. Do’akan aku ya bu, agar aku bisa menjadi
orang yang sukses” pintaku pada ibuku.
“Iya
nduk, do’a ibu selalu menyertai langkahmu. Uhuk,uhuk” sambil
menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.
Sejenak
aku melihat darah semakin banyak keluar dari mulutnya dan tubuh ibuku
sudah semakin kurus. Aku ingin menangis tapi aku sudah berjanji pada
ibuku tidak akan menangis apapun yang akan terjadi dan berjanji akan
terus menjaga kedua adik-adikku.
Aku
mencium kedua tangannya yang teramat kurus dan langsung menuju ke
tampat menuntut ilmuku yang baru. Sekarang adikku sudah bisa menaiki
sepeda sendiri. Aku sempat minder karena aku melihat semua
teman-temanku memakai baju dan sepeda motor yang sepertinya sangat
mahal bagi keluargaku. Tapi aku yakinkan dalam hatiku bahwa aku
disini untuk menjadi mahasiswa terbaik! Bukan untuk mencari pacar
atau apapun itu.
Hujan
deras mengguyur kota yang sejuk ini. Aku melihat keluar jendela dan
mengkhawatirkan ibuku yang sakit di rumah. Setelah mata perkuliahanku
selesai, aku segera menuju rumah. Dan ternyata benar apa yang aku
khawatirkan.
“Pak,
ada apa ini? Kok rame banget?” tanyaku pada seorang warga.
“Oh,
itu loh mas ada rumah yang hanyut ke sungai brantas” sambil
menunjuk tanah kosong yang aku yakin kalau itu adalah rumahku
sebelumnya. Aku segera menerobos kerumunan dan langsung jatuh dan
tidak percaya apa yang telah terjadi ini. Tanah yang sebelumnya
menjadi rumahku ini telah menjadi kuburan bagi ibuku. Ibuku telah
kembali kepada yang kuasa. Hujan yang deras itu baru saja reda
sekarang digantikan oleh hujan rintik-rintik yang turun dari langit.
Ternyata langit tau aku sedang sedih dan menjadi pengganti tangisku.
“Oh
ya pak, apa tadi ada tangisan anak kecil dari dalam rumah?” aku
khawatir kepada adik-adikku.
“Engga
kayaknya dek, tadi itu rumahnya sepi banget. Sabar ya dik, Allah
selalu punya rencana kok” kata seorrang warga menenangkanku,
sepertinya dia tau apa yang aku rasakan.
Aku
berharap hujan rintik-rintik ini menghapus luka yang ada di hatiku.
Tidak lama kemudian adik-adikku datang dari sekolahnya sambil tertawa
dan basah kuyup. Setelah melihat rumah yang semestinya berada di
tempat itu ternyata hanya tinggal tanah kosong. Tawa mereka pun
menghilang. Diganti dengan wajah yang sama murungnya denganku. Aku
tau hati mereka pasti remuk. Yah, meskipun mereka bukan anak dari ibu
sama seprti aku mereka juga pasti merasakan bagaimana sakitnya
kehilangan orang yang kita sayangi. Meraka bukan adik kandungku
meraka sama seperti aku, mereka ditemukan di tempat yang sama jjuga
seperti aku tapi aku sangat menyayangi mereka. Aku tau mereka akan
menangis. Aku segera berlari dan mendekap mereka erat-erat. Mendung
semakin tebal dan hujan yang semula hanya rintik-rintik berubah
menjadi hujan deras sederas arus rasa kehilangan yang ada dalam
hatiku. Sekarang tinggal kita bertiga disini, berdiri di atas tanah
kosong yang sebelumnya adalah tempat berlindung kita dari hujan dan
tertawa lepas. Sambil mencoba menengkan adik-adikku aku berpikir
bagaimana caranya aku hidup. Akhirnya aku putuskan untuk tidak kuliah
meskipun aku telah mendapatkan beasiswa.
“Raflly,
Nagus setelah ini kita akan pindah rumah. Kakak akan mencoba
mencarikan tempat tinggl yang dekat dengan sekolah kalian” kataku
pada kedua adikku untuk menenangkan mereka.
“Iya
kak” jawab adikku hampir bersamaan.
“Ibu,
engkau adalah cinta pertamaku” kubisikkan kalimat itu ke dalam
hatiku.
Setalah
adik-adikku puas menangis kami mulai mengemasi semua barang-barang
kami yang terselamatkan. Aku terus memutar otak dan berpikir
bagaimana caranya agar aku bisa mencari kontrakan. Aku beranikan
diriku untuk meminjam uang pada guru yang menjadi sosok ayah bagiku.
Alhamdulillah dia amu meminjamkan uangnya untukku. Aku pun bertanya
pada guruku dimana tempat kos yang murah. Ternyata guruku mempunyai
sebuah rumah yang sudah tidak dia gunakan lagi setelah dia menikah.
Sebelumnya dia berniat menjualnya namun dia urungkan niatnya itu. Aku
terus memuji nama Allah, karena aku yakin ini adalah sekenario Allah
untukku dan adik-adikku.
Akhirnya
kami tingga sebuah rumah kecil yang berada di dekat sekolah adikku.
Aku mencoba membuat kue. Keterampilan yang aku peroleh dari ibuku.
Aku berusaha sebaik mungkin untuk mencukupi semua kebutuhan
adik-adikku. Sekuat tenaga aku berjualan kue keliling meskipun banyak
teman-temanku yang terus mendesakku untuk berkuliah karena aku adalah
seseorang yang berotak jenius. Namun aku sudah membuang anganku untuk
bersekolah tinggi demi adik-adikku. Aku sudah berjanji pada ibuku
untuk menjaga mereka. Karena sekarang merekalah yang menjadi orang
yang paling aku sayangi.
Malam
ini aku terbangun tepat tengah malam. Jalan di depan rumah masih saja
ramai dengan suara kendaraan yang berlalu lalang. Aku segera
mengambil air wudlu dan melakukan sholat tahajud. Tak terasa air
mataku menetes dengan deras. Ibu, maafkan aku kareana aku menangis. “
Ya Rabb Engkaulah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kepada
Engakaulah aku memohon dan meminta pertolongan. Ya Rabb aku mohon
kepadaMu agar engaku berikan kesehatan kepada raga dan jiwaku dan
adik-adikku. Ya Rabb, kepadaMulah aku mencurahkan segala masalah. Ya
Rabb jagalah ibuku dari siksa kubur dan api neraka karena dialah
cinta pertamaku” Mom, you is my first love <3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar